JENTERANEWS.com – Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengeluarkan peringatan keras kepada orang tua dan anak-anak terkait pemberlakuan jam malam di wilayahnya. Ancaman ini disampaikan dalam acara “Nganjang ka Warga” di Subang, menegaskan bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Barat tidak akan menanggung biaya pengobatan bagi anak-anak yang terlibat perkelahian atau kejahatan lainnya saat jam malam diberlakukan.
Dedi Mulyadi secara lugas menyatakan bahwa jika ada anak yang berkelahi, dibacok, atau dirampok di jalan setelah jam malam berlaku, Pemerintah Provinsi tidak akan memberikan bantuan pembiayaan. “Saya tegaskan, setelah gubernur memberlakukan Jam Malam, kalau nanti ada anak Jawa Barat yang berkelahi, yang dibacok, yang dirampok di jalan,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa berada di luar rumah saat jam malam adalah sebuah kesalahan, bahkan jika anak tersebut merasa tidak bersalah. “Da, anak aing mah teu salah, tapi jam sapuluh peuting kaluar ti imah, eta salah,” ungkapnya dalam bahasa Sunda yang berarti, “Anak saya tidak salah, tapi jam sepuluh malam keluar rumah, itu salah.”
Gubernur membeberkan jam-jam rawan terjadinya perkelahian di kalangan anak muda, yaitu antara pukul 11 malam hingga 2 pagi. Ia juga menyoroti peran media sosial dalam mengatur lokasi perkelahian yang seringkali sudah direncanakan sebelumnya.
Dedi Mulyadi turut prihatin dengan beban orang tua yang harus memikirkan perkelahian anak-anaknya, sementara mereka sendiri bergelut dengan masalah ekonomi. “Sia teh, kolot sia teh hutang loba, gawe eweuh, kulian murah. Mikirin sia gelut,” katanya, yang berarti, “Kalian itu, orang tua kalian punya banyak utang, tidak ada pekerjaan, kuli dengan upah murah. Memikirkan kalian berkelahi.”
Melihat kondisi ini, Dedi Mulyadi menyerukan perubahan total dalam cara bersikap dan berpikir masyarakat Jawa Barat, terutama dalam lingkungan keluarga. Ia mengidentifikasi akar masalahnya pada hilangnya otoritas orang tua dan guru. “Kenapa ini terjadi? Karena indungna tos teu didenge ku anakna. Anakna tos teu ngadenge ka bapakna. Guru teu digugu,” jelasnya. Ini bermakna, “Kenapa ini terjadi? Karena ibunya sudah tidak didengar oleh anaknya. Anaknya sudah tidak mendengar bapaknya. Guru tidak digugu (dituruti).”
Di hadapan warga, Dedi Mulyadi bertanya mengenai kebutuhan dan langkah yang harus diambil. Ia menegaskan perlunya pemimpin yang tegas, memberikan sikap, mendidik, dan merangkul rakyatnya. “Atuh arek kumaha, perlu naon? Perlu pemimpin nu tegas, mere sikap ka rakyatnya, ngadidik, ngarangkul,” pungkasnya.
Meskipun pemberlakuan jam malam menuai pertanyaan tentang kesiapan fasilitas, Dedi Mulyadi menepis anggapan tersebut. “Pemberlakuan jam malam, lamun perlengkapan, peralatan, sarana, prasarana enggeus siap, ceuk saha? Lapangan bola ge kosong, teu dipake ayeuna mah,” katanya. Ini berarti, “Pemberlakuan jam malam, kalau perlengkapan, peralatan, sarana, prasarana sudah siap, kata siapa? Lapangan bola saja kosong, tidak dipakai sekarang.”
Ia menyarankan agar anak-anak yang tidak memiliki kegiatan di luar rumah bisa melakukan aktivitas bermanfaat di rumah. “Budak eweuh kegiatan, nyeuseuh kegiatan, sasapu kegiatan, nyetrika kegiatan,” terangnya, menyiratkan bahwa mencuci, menyapu, dan menyetrika bisa menjadi kegiatan yang produktif.
Terakhir, Dedi Mulyadi tidak luput menyinggung peran ibu dalam membentuk perilaku anak. Ia mengkritik ibu-ibu yang melarang anak bermain telepon genggam namun mereka sendiri asyik dengan gawai. Ia juga menyindir ibu-ibu yang tidak bisa membuat kue namun melarang anak jajan. “Nu aing dicarekan, indung-indung na kabeh sia. Nitah budak teu jajan, indungna teu bisa nyieun keu-kue acan,” jabarnya, yang artinya, “Yang saya marahi, ibu-ibu kalian semua. Menyuruh anak tidak jajan, ibunya tidak bisa membuat kue sekalipun.”
Untuk itu, Dedi Mulyadi mengimbau para ibu agar lebih fokus pada keluarga, khususnya menyiapkan makanan lezat untuk suami di rumah, alih-alih menghabiskan waktu dengan “odong-odong” (permainan mobil keliling).(*)