JENTERANEWS.com Di tengah penundaan RUU Penyiaran, muncul RUU Polri yang memicu perbincangan sengit di dunia maya.
RUU Polri ini menghadirkan perubahan signifikan, terutama di Pasal 6 dan Pasal 14, yang memperluas kewenangan Polri dalam mengawasi ranah cyber, seperti yang dilaporkan oleh akun X Remotivi.
Di Pasal 6, disebutkan bahwa peran kepolisian kini meliputi pengawasan teritorial, termasuk ranah cyber.
Sementara itu, Pasal 14 menyoroti bahwa Polri dapat melaksanakan pembinaan, pengawasan, dan pengamanan ranah cyber, termasuk melakukan pemblokiran, pemutusan, atau penundaan akses internet untuk keamanan dalam negeri.
Kegiatan ini harus berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika serta penyelenggara jasa telekomunikasi.
Pemerintah menyatakan bahwa tujuan dari perubahan ini adalah untuk memperkuat keamanan siber di Indonesia, mengingat meningkatnya ancaman cyber yang dapat mengganggu stabilitas nasional. Langkah ini diharapkan memberikan alat yang lebih kuat bagi Polri untuk menangani kejahatan siber, seperti penyebaran malware, pencurian data, dan serangan terhadap infrastruktur kritis.
Namun, tanggapan masyarakat terhadap RUU Polri ini beragam. Banyak yang khawatir bahwa perubahan ini dapat membawa praktik otoriter, dengan potensi penyalahgunaan wewenang untuk melakukan sensor dan pembatasan akses internet.
Beberapa masyarakat dan organisasi hak asasi manusia menyampaikan kekhawatiran bahwa kebebasan berpendapat dan privasi individu akan terancam.
“Kami khawatir Polri akan terjebak dalam peran ganda yang mengarah pada otoritarianisme,” ujar seorang aktivis hak digital.
Namun, ada juga masyarakat yang mendukung RUU Polri dengan alasan bahwa pengawasan ketat diperlukan untuk menanggulangi kejahatan siber yang semakin canggih dan merugikan.
“Jika dikelola dengan baik, kebijakan ini bisa menjadi alat efektif untuk melindungi masyarakat dari ancaman cyber,” kata seorang pakar keamanan siber.