JENTERANEWS.com – Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Sukabumi mengambil langkah tegas dengan menghentikan aktivitas pembangunan menara telekomunikasi tanpa izin di empat wilayah, yaitu Cibadak, Cikidang, Kabandungan, dan Purabaya. Tindakan ini diambil sebagai respons terhadap polemik yang kerap terjadi antara masyarakat dan perusahaan terkait pendirian tower yang tidak mengantongi izin resmi.
Kepala DPMPTSP Kabupaten Sukabumi, Ali Iskandar, menjelaskan bahwa pihaknya telah melakukan investigasi lapangan secara menyeluruh dan berhasil mengidentifikasi perusahaan-perusahaan yang bertanggung jawab atas pelanggaran tersebut. “Kami telah turun langsung ke lokasi dan memerintahkan perusahaan-perusahaan tersebut untuk menghentikan seluruh kegiatan pembangunan hingga izin resmi diterbitkan,” tegas Ali pada Rabu (15/1/2025).
Temuan menarik terungkap dalam kasus ini, di mana beberapa perusahaan diketahui berani memulai pembangunan hanya berbekal rekomendasi dari pihak tertentu. “Perlu ditekankan bahwa rekomendasi semata tidak memiliki kekuatan hukum yang sah. Izin lingkungan dan izin bangunan merupakan persyaratan mutlak yang harus dipenuhi,” imbuh Ali.
Lebih lanjut, Ali merinci tahapan perizinan yang wajib dipatuhi oleh setiap perusahaan yang ingin mendirikan menara telekomunikasi:
- Kesesuaian Ruang: Perusahaan wajib mengajukan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR) secara daring. Pengajuan ini kemudian akan dievaluasi melalui Surat Keputusan Rencana Detail (SKRD).
- Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL): Perusahaan diwajibkan menyiapkan dokumen SPPL melalui sistem Online Single Submission (OSS) sebagai bentuk komitmen terhadap pengelolaan dan pelestarian lingkungan.
- Izin Bangunan Gedung (SimBG): Tahap ini melibatkan evaluasi komprehensif yang mencakup struktur bangunan, aspek mekanikal dan teknikal, serta mitigasi risiko seperti penangkal petir dan radiasi. Setelah dinyatakan lolos evaluasi, Persetujuan Bangunan Gedung (PBBG) akan diterbitkan.
Selain persyaratan perizinan di atas, Ali juga menekankan kewajiban perusahaan untuk melakukan evaluasi konstruksi secara berkala, yakni setiap lima tahun sekali, dengan mengukur Sertifikat Laik Fungsi (SLF). Perusahaan juga diharapkan memberikan kontribusi positif kepada masyarakat sekitar melalui program Corporate Social Responsibility (CSR). “Evaluasi konstruksi dan pelaksanaan CSR seringkali terabaikan oleh perusahaan,” ungkap Ali.
DPMPTSP menduga bahwa keterlambatan dalam proses asesmen menjadi salah satu faktor pendorong perusahaan untuk melanggar aturan. Menyadari hal ini, DPMPTSP berkomitmen untuk melakukan evaluasi terhadap layanan internal mereka agar dapat memberikan pelayanan yang lebih responsif dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat serta para pelaku usaha. Langkah ini diharapkan dapat meminimalisir pelanggaran serupa di masa mendatang.(*)